Friday, September 19, 2008

KEHENINGAN Pintu Menuju Kesadaran Sejati

Oleh: AA Putra Wijaya

Keheningan adalah keadaan dalam kesendirian untuk melihat diri dengan mengembangkan keakraban yang lebih mendalam dan lebih luas dengan "Sang Pencipta". Keakraban yang diawali dengan pengenalan dan pemahaman akan diri sendiri kemudian mempercayai dan meyakini diri dalam membimbing diri sendiri. Melatih diri dengan penelusuran diri agar mencapai kearifan bawaan yang berada di dalam inti keberadaan diri yang paling dalam agar dapat berhubungan dengan seluruh realitas yang ada.

Keheningan, kesunyian, kesunyatan tercapai setelah melampui segala macam pengalaman yang menakutkan dalam kegelapan jiwa. pengalaman itu berupa ketakutan akan kehilangan, kematian begitu juga ketakutan melihat bayangan sendiri. Ketakutan itu justru terjadi karena takut melihat bayangan sendiri yang disebabkan oleh ego yang selalu ingin mendominasi. Takut melihat diri begitu penuh denan dosa tumpul, jelek, penuh dengan kemunafikan sehingga kecemasan dan kebingungan selalu menjadi hantu dalam diri.

Keheningan bukanlah hal yang perlu ditakuti meskipuin keheningan berada di dalam kegelapan yang paling kelam. Kegelapan sesungguhnya memberi sumbangan yang berharga untuk merasakan diri karena tidak lagi melihat apa yang ada di luar diri. Masuk ke dalam kegelapan sendiri dengan menghormati setiap perasaan secara mengkhusus sampai ke level sel-sel tubuh merupakan sarana untuk menyongsong revolusi perubahan total pada diri. Melewati proses ini, batin kembali di murnikan seperti muda kembali, penuh semangat untuk melihat kebenaran yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Filosofisnya "Habis gelap terbitlah terang". Orang bijak mengatakan "di mana lagi kalau bukan di kegelapan lampu dapat memancarkan sinarnya".

Di zaman ini banyak orang merasa tidak nyaman dengan kesunyian dan menggantikannya dengan keributan. Orang cenderung mencari hingar-bingar, mengejar-ngejar orang seksi sebagai koleksi, sampai mengkonsumsi obat-obatan terlarang sebagai pelarian. Penipuan-penipuan diri semacam ini sering membohongi diri sendiri dengan dalih segala macam yang akhirnya menyesatkan diri dalam hutan belantara kebingunan. Tidak berani melihat kenyataan hidup akibat dari kebodohan berupa kabut tebal kegelapan.

Kebanyakan orang takut dengan kesendirian, takut pada kesepian. Untuk menemukan diri sejati bukan justru di tempat yang penuh dengan hingar-bingar. Keheningan tidak dapat direkasaya dan tidak ditemukan dalam segala perdebatan maupun pertentangan bahwa yang ini benar yang itu salah. Keheningan tidak dapat diundang maupun dicari melalui pikiran begitu juga melalui perasaan-perasaan yang kacau maupun di tempat yang di huni oleh jiwa yang sedang tergoncang. Keheningan merupakan jalan kehidupan spritual yang berhubungan dengan ketuhanan secara harfiah dengan perasaan yang terpusat "manunggal" pada kesejatian diri. Hanya dalam keheninganlah orang dapat mengamati asal mula pikiran dan kehidupan bukan pada saat mencari, bertanya kesana-kemari maupun melalui bualan yang memboroskan waktu.

Pikiran yang masih sibuk walaupun berada di tempat yang sunyi tidak mengalami keheningan. Pikiran yang hening adalah pikiran yang telah terbebaskan dari segala keterkaitan (keinginan) untuk mendapatkan apapun. Ini bukan berarti tidak ada usaha melainkan sudah melampui segala usaha. Melampui segala usaha berarti usaha yang telah menyerahkan segalanya kepada kehendak Tuhan. Filosofisnya "Berusaha tanpa usaha". Orang bijak dan penekun kitab suci selalu berkata, "Terjadilah yang harus terjadi, Tuhanlah Yang Maha Tahu dan Maha Besar".

Orang yang tidak terikat sering kali terlihat acuh tak acuh atau tidak peduli. Sesungguhnya ketidakpeduliannya itulah letak kepeduliannya. Tetap tenang tidak tergoncang, tidak terikat dan tidak dapat dipengaruhi. Ia tidak peduli apa itu baik atau buruk, sukses atau gagal. Kepeduliannya hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak Tuhan. Apapun yang terjadi kalau sudah kehendak Tuhan itulah yang terbaik. Ia telah menyadari bahwa manusia mempunyai tanggung jawab masing-masing dalam menempuh kehidupannya walaupun berjalan bersama-sama.

Keheningan merupakan pusat sumber hidup yang sesungguhnya. Sumber untuk pemurnian dan transformasi diri dengan melatih diri lewat kesadaran. Pemurnian diri adalah penyingkiran racun-racun kehidupan yang berupa emosi yang tak terkendali, pikiran-pikiran negatif, maupun hubungan-hubungan yang didominasi oleh ego.

Wednesday, September 17, 2008

Ikhlas Dibibir, Belumlah IKHLAS

Kata ikhlas sangat sering kita dengar. Biasanya, kita mengucapkan kata ikhlas tatkala segala upaya yang telah kita lakukan namun hasilnya selalu nihil. Ikhlas baru terucap tatkala kita telah menghadapi kegagalan untuk meraih sesuatu. Ketika kita telah mengalami kegagalan dalam hidup ini, baik itu kebangrutan usaha, dililit utang besar atau berbagai jenis kegagalan lain, barulah kita mengatakan “yaaaaah ikhlaskan saja apa yang telah terjadi”. Begitu pula ketika salah seorang anggota keluarga yang kita amat cintai mengalami masa kritis (dalam keadaan koma) setelah tim medis mengaku pasrah, kita lalu bilang “ikhlaskan saja kalau memang ini jalannya harus pergi”. Dari contoh-contoh diatas jelas kita lihat bahwa, kata ikhlas terucap pada detik-detik terakhir dari sebuah peristiwa adalah musibah. Kalau demikian halnya, berarti kata ikhlas tiada lain ibarat kata-kata terakhir yang selalu terucap dari kita. Itu artinya, kita tidak merasa perlu mengucapkannya pada awal kegiatan, peristiwa atau apapun namanya. Lalu muncul pertanyaan besar, apa perlunya mengucapkan kata ikhlas di awal? Apakah ikhlas itu baru sebatas di bibir atau sudah keluar dari hati?

Pelopor Industri Kesadaran Indonesia, Erbe Sentanu dalam banyak kesempatan mengatakan, kebiasaan mengatakan, kebiasaan mengatakan dan merasa ikhlas setelah detik-detik terakhir adalah sebuah kebiasaan yang kurang tepat. Kata dia, kita mesti mulai membiasakan diri meng-ikhlas-kan apa yang akan kita lakukan, kerjakan, miliki, sejak awal. Ia lalu memberi contohtatkala kita mengepalkan tangan kita yang artinya ‘ini punyaku’, ‘ini hakku’, kita siap merebut, meraih apa yang kita inginkan. Kepalan tangan yang kuat itu menandakan kita akan berusaha mempertahankan apa yang telah kita raih dengan sekuat tenaga. Lalu, Erbe Sentanu coba mengajak kita membuaka tangan yang tadinya mengepal itu. Artinya, pada saat yang sama kita mesti siap ‘melepaskan’ apa saja yang telah kita raih dengan ikhlas. Contoh ilustrasi penerapan ikhlas dengan mengepalkan dan membuka telapak tangan itu sebuah contoh yang sangat sederhana. Namun sebagian besar dari kita belum menerapkannnya.

Yang lebih dalam, Erbe Sentanu atau yang akrab dipanggil Mas Nunu mengajak kita untuk belajar ikhlas dari hati. “Orang yang hanya berkata ikhlas, itu belumlah ikhlas” katanya. Pikiran dan bibir berucap tanpa keluar dari bahasa hati sama artinya belum ikhlas. Ikhlas itu baru disebut ikhlas apabila sudah keluar dari hati yang paling dalam. Ikhlas itu mesti keluar dari rasa (jantung hati) bukan dari pikiran yang terucap melalui bibir. Rasa ikhlas ini penting dirasakan setiap jika kita ingin menjadikan hidup ini lebih bahagia dalam arti sesungguhnya (bukan sekadar kebahagiaan duniawi). Ikhlas apalagi diimbangi rasa bersyukur akan membuat hidup kita lebih bermakna, bukan hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Untuk membuat hidup lebih bermakna, maka sudah saatnya kita selalu ikhlas dan bersyukur termasuk dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan sekali pun. Ini memang sulit. Tapi tatkala kita telah membiasakan hal itu, maka anda dan kita semua akan lebih memahami makna sesungguhnya dari hidup ini. Mari kita coba!

Sumber: Çraddha Edisi ke-22 / Th. VIII / 2008

Monday, August 4, 2008

Lemparan Batu

Suatu hari, tampak seorang pengusaha muda sedang melaju di jalan raya mengendarai mobil mewah yang baru dibelinya. Perasaan puas, bangga dan senang menyelimutinya karena memiliki mobil yang sudah lama diidam-idamkan.

Tiba-tiba, saat sedang asyik menyetir, dia melihat seorang anak kecil menggerakkan tangan ke arah mobilnya yang disusul suara keras menghantam mobil. “Pletak…!!!” Suara itu terdengar nyaring di sebelah kiri pintu mobil. Sebuah batu kecil mengenai mobil baruya. Spontan, karena kaget, pengusaha muda itu menekan rem mobil kuat-kuat. Dengan perasaan geram, mobil pun segera dimundurkan ke arah dari mana batu itu dilempar

Dia bergegas turun untuk melihat apa yang terjadi dengan pintu mobil kesayangannya. “Aduh bener-bener kurang ajar!” Dia memaki sambil tangannya mengusap sayang goresan di pintu mobil. Amarahnya memuncak Dengan segera matanya menangkap sosok anak kecil yang tadi dilihatnya melempar sesuatu ke arah mobilnya. Dihampiri anak itu dengan tangan terkepal menahan marah, “Hai kamu! Lihat apa yang telah kamu lakukan pada mobil kesayanganku, lihat goresan itu!” Teriaknya penuh amarah sambil bersiap-siap akan memukul.

Si anak tampak pucat dan gemetar ketakutan. Dia berusaha meminta maaf. “Maaf Pak, maaf. Saya salah dan benar-benar minta maaf. Sebab saya tidak tahu lagi harus melakukan apa.” Air mukanya tampak ngeri, matanya berkaca-kaca dan tangannya memohon ampun.

“Maaf Pak, saya melempar batu itu karena tidak ada seorang pun yang mau berhenti.” Dengan airmata berurai yang mulai berjatuhan di pipi, anak tadi menunjuk ke suatu arah. “Itu di sana ada kakakku yang lumpuh. Dia tergelincir terjatuh dari kursi rodanya dan kesakitan. Saya tidak kuat mengangkatnya dan tidak ada seorang pun yang mau behenti menolongnya,” ucapnya sambil terisak dan pandangan mata berharap.

“Tolong kakak saya Pak.” Melihat ketulusan si bocah, sang pengusaha itu tidak mampu berkata apa-apa. Amarahnya pun mulai reda. Tak lama, dia menghampiri dan mengangkat si cacat yang tengah mengerang kesakitan, lalu dia dudukkan ke kursi roda.

Si bocah pun tak henti-hentinya berterima kasih dan mengucapkan maaf. “Terima kasih Pak, semoga Tuhan membalas kebaikan hati Bapak. Dan sekali lagi maaf telah melukai mobil Bapak.” Lalu, si bocah kecil itu pun kembali mendorong kursi roda kakaknya untuk melanjutkan perjalanan. Sementara si pengusaha muda itu kembali mengendarai mobilnya sambil merenungi kejadian yang baru saja dia alami.

“Hidup akan jauh lebih indah dan bermakna jika kita mampu menyisihkan sebagian rezeki, waktu, dan tenaga untuk memperhatikan dan membantu orang lain yang membutuhkan.”


Sumber: Buku 18 Wisdom & Success - ANDRIE WONGSO

Friday, August 1, 2008

Kisah Aku dan Keong

Tuhan memberiku sebuah tugas, yaitu membawa keong jalan-jalan. Aku tak dapat jalan terlalu cepat, Keong sudah berusaha keras merangkak, setiap kali hanya beralih sedemikian sedikit.

Aku mendesak, menghardik, memarahinya, Keong memandangku dengan pandangan meminta-maaf, serasa berkata : "aku sudah berusaha dengan segenap tenaga..."

Aku menariknya, menyeret, bahkan menendangnya, Keong terluka. Ia mengucurkan keringat, nafas tersengal-sengal, merangkak ke depan.

Sungguh aneh, mengapa Tuhan memintaku mengajak seekor keong berjalan-jalan? Ya Tuhan! Mengapa? Langit sunyi-senyap...

Biarkan saja keong merangkak di depan, aku kesal di belakang. Pelankan langkah, tenangkan hati...

Oh? Tiba-tiba tercium aroma bunga, ternyata ini adalah sebuah taman bunga. Aku rasakan hembusan sepoi angin, ternyata angin malam demikian lembut. Ada lagi! Aku dengar suara kicau burung, suara dengung cacing. (mang cacing mendengung?! tawon kalii??) Aku lihat langit penuh bintang cemerlang. Oh? Mengapa dulu tidak rasakan semua ini? Barulah aku teringat, mungkin aku telah salah menduga!

Ternyata Tuhan meminta Keong menuntunku jalan-jalan sehingga aku dapat mamahami dan merasakan keindahan taman ini yang tak pernah kualami kalau aku berjalan sendiri dengan cepatnya.

"He's here and with me for a reason"

Saat bertemu dengan orang yang benar-benar engkau kasihi, haruslah berusaha memperoleh kesempatan untuk bersamanya seumur hidupmu. Karena ketika dia telah pergi, segalanya telah terlambat.

Saat bertemu teman yang dapat dipercaya, rukunlah bersamanya.

Karena seumur hidup manusia, teman sejati tak mudah ditemukan. Saat bertemu penolongmu, ingat untuk bersyukur padanya. Karena ia lah yang mengubah hidupmu.

Saat bertemu orang yang pernah kau cintai, ingatlah dengan tersenyum untuk berterima-kasih. Karena ia lah orang yang membuatmu lebih mengerti tentang kasih.

Saat bertemu orang yang pernah kau benci, sapalah dengan tersenyum.

Karena ia membuatmu semakin teguh.

Saat bertemu orang yang pernah mengkhianatimu, baik-baiklah berbincanglah dengannya. Karena jika bukan karena dia, hari ini engkau tak memahami dunia ini.

Saat bertemu orang yang pernah diam-diam kau cintai, berkatilah dia.

Karena saat kau mencintainya, bukankah berharap ia bahagia?

Saat bertemu orang yang tergesa-gesa meninggalkanmu, berterima-kasihlah bahwa ia pernah ada dalam hidupmu. Karena ia adalah bagian dari nostalgiamu.

Saat bertemu orang yang pernah salah-paham padamu, gunakan saat tersebut untuk menjelaskannaya. Karena engkau mungkin hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskan.

Saat bertemu orang yang saat ini menemanimu seumur hidup, berterima-kasihlah sepenuhnya bahwa ia mencintaimu. Karena saat ini kalian mendapatkan kebahagiaan dan cinta sejati.

Sumber: Buku 18 Wisdom & Success - ANDRIE WONGSO


Thursday, July 31, 2008

Gagal dan Bangkit lagi

Pada suatu sore, tampak seorang pemuda tengah berada di sebuah taman umum. Dari raut wajahnya tampak kesedihan, kekecewaan, dan frustasi yang menggantung. Dia terlihat berjalan dengan langkah gontai dan kepala tertunduk lesu. Sebentar sebentar, ia tertunduk dan menghela nafas panjang. Kegiatan itu diulangnya berkali-kali, seakan dia tidak tau apa yang hendak dilakukannya.

Saat pikirannya sedang menerawang entah kemana, tiba-tiba pandangan matanya terpaku pada gerakan seekor laba-laba yang sedang membuat sarangnya di antara ranting sebatang pohon tempat ia duduk. Dengan perasaan kesal, ia pun kemudian iseng mengambil sebatang ranting dan menumpahkan rasa kekesalannya pada sarang laba-laba itu. Maka, sarang itu pun dirusak tanpa ampun.

Seusai melepaskan kejengkelannya, perhatian pemuda itu teralih sementara untuk mengamati ulah si laba-laba. Dalam hati dia ingin tahu, kira-kira apa yang akan dikerjakan laba-laba setelah sarangnya hancur oleh tangan isengnya? Apakah laba-laba akan lari terbirit-birit, atau ia akan kembali membuat sarangnya di tempat lain? Rasa penasaran itu rupanya segera mendapatkan jawaban. Tak lama, si laba-laba tampak kembali ke tempatnya semula. Laba-laba itu mengulangi kegiatan yang sama, merayap-merajut-melompat. Setiap helai benang dipintalnya dari awal, semakin lama semakin lebar dan tanpa kenal lelah laba-laba itu kembali menyelesaikan seluruh pembuatan sarang barunya.

Setelah menyaksikan usaha si laba-laba yang sibuk bekerja lagi dengan semangat penuh untuk memperbaiki dan membuat sarang baru, kembali ranting si pemuda beraksi dengan tujuan menghancurkan sarang tersebut untuk kedua kalinya. Dengan perasaan puas namun penuh rasa ingin tahu, diamati ulah si laba-laba. Apa gerangan yang akan dikerjakannya setelah sarangnya dirusak untuk kedua kalinya?

Ternyata, untuk ketiga kalinya, laba-laba mengulangi kegiatannya, kembali mulai dari awal. Dengan bersemangat, merayap-merajut-melompat dengan setiap helai benang yang dihasilkan dari tubuhnya, laba-laba itu memintal membuat saran sedikit demi sedikit.

Setelah melihat dan mengamati ulah laba-laba tersebut dalam membangun sarang yang telah hancur untuk ketiga kalinya, saat itulah si pemuda mendadak tersadarkan. Tidak peduli berapa kali sarang laba-laba dirusak dan dihancurkan, sebanyak itu pula laba-laba membangun sarangnya kembali. Semangat binatang yang begitu kecil, dengan giat bekerja tanpa mengenal lelah, telah membuka kesadaran si peuda.

Hal itu menimbulkan perasaan malu dirinya. Karena sesungguhnya, si pemuda berada di taman itu dengan hati dan perasaan gundah karena dia baru saja mengalami satu kali kegagalan! Maka, melihat semangat pantang menyerah laba-laba, dia pun berjanji dalam hati, “Aku tidak pantas mengeluh dan putus asa karena telah mengalami satu kali kegagalan. Aku harus bangkit lagi! Berjuang dengan lebih giat dan siap memerangi setiap kegagalan yang menghadang, seperti semangat laba-laba kecil yang membangun sarangnya kembali dari setiap kehancuran!” Segera, si pemuda bangkit, dan bertekad kuat untuk bekerja lebih giat lagi. Bila perlu, dia akan memulai dari awal lagi, tanpa putus asa.

“Selama kita masih memiliki tujuan yang menggairahkan untuk dicapai, tidak pantas kita patah semangat di tengah jalan, karena dalam kenyataannya, tidak ada sukses sejati yang tercipta tanpa melewati kegagalan.”


Sumber: Buku 18 Wisdom & Success - ANDRIE WONGSO